Bagaimana Pendidik (Sekarang) Berkembang, Kalau Sambil Mikir Besok Mau Makan Apa? November 17, 2014 Tambah Komentar Edit Lagu untuk para guru dan pendidik. Lirik lagu itu menunjukkan betapa mulia profesi guru. “Pendidik adalah teladan bagi peserta didiknya," kata CEO & Founder Elite Tutors Indonesia, Sumarsono, Kamis (16/9/2016). Guru, lanjut Sumarsono, tidak hanya bertanggung jawab atas penyampaian materi tetapi juga berperan sebagai panutan. Namun, tak bisa dimungkiri guru juga manusia biasa yang memiliki banyak kebutuhan hidup untuk dipenuhi. Sayangnya, keluhan soal kesejahteraan para guru masih terus saja bergaung. Seperti dilansir Kompas.com pada Jumat (29/1/2016), misalnya, masalah ini menjadi agenda Konferensi Kerja Nasional III Persatuan Guru Republik Indonesia pada Januari 2016. Keluhan yang mencuat antara lain pengucuran tunjangan belum tepat waktu. Persyaratan penerimaan tunjangan juga dirasa terlalu banyak. Proses kenaikan pangkat pun disebut masih rumit. Belum lagi soal jabatan fungsional dan kecilnya pendapatan guru honorer. Juga, sejumlah tunjangan khusus disebut belum merata. Padahal, tanggung jawab guru tidak kecil. Rasio guru dan murid juga sering tak seimbang. Menurut PP 74/2008 tentang Guru, idealnya satu guru maksimal mengajar 20 siswa. Kenyataannya, satu guru kerap mendidik lebih dari 40 siswa pada satu waktu. Terlebih lagi, ada tuntutan moral dan etika yang erat melekat pada sosok guru, mulai dari tutur kata hingga perilaku. Untuk itu semua, seorang guru harus terus-menerus mengasah kualitas dan membangun kepribadian. “Jadilah guru yang kehadirannya selalu dinanti peserta didik karena metode pengajarannya menarik," ujar Sumarsono. Agar pengajaran efektif, lanjut Sumarsono, guru sebaiknya memastikan pula terlebih dahulu muridnya memang sudah siap menerima materi pelajaran. Gairah Dalam perbincangan dengan kompas.com, Sumarsono mengaku tidak sependapat bila guru harus menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Bukan pula berarti guru perlu medali. Namun, kata Sumarsono, guru harus dipastikan hidup sejahtera. Harapannya, kesejahteraan itu akan membuat guru terus termotivasi mengembangkan diri. "Semakin berkembang guru, ia akan semakin maksimal mengajar, sehingga anak didik ikut berkembang," ungkap Sumarsono. Menurut Sumarsono, saat ini pendidikan masih terlalu terpaku pada pengabdian. Seolah-olah, kata dia, mulianya profesi ini membuat guru tidak perlu sejahtera. "(Namun), saya menekankan, pendidik jangan (lalu) menuntut dibayar mahal, tapi (pendidik yang harus) memantaskan diri,†tegas Sumarsono. Tentu saja, guru juga harus terus menambah kompetensi agar pantas dibayar mahal itu. Di dalamnya termasuk mempelajari kasus-kasus yang berkembang di dunia pendidikan dan cara menghadapi anak-anak tertentu. “Nah, bagaimana pendidik (sekarang) mau berkembang kalau sambil mikir besok mau makan apa? Pendidikan macam apa yang mau dibangun oleh pendidik yang tidak sejahtera?†tanya Sumarsono. Berangkat dari pemahaman tersebut, Sumarsono pun memastikan para tutor di lembaganya mendapatkan bayaran pantas dan hidup sejahtera. Dari situ dia juga memastikan kualitas para pengajar di lembaganya. “Guru harus memiliki dua kualitas utama. Kualitas latar belakang akademik dan kepribadian menarik," tegas dia. Menurut Sumarsono, peserta didik akan sulit menerima ilmu dari guru yang tidak konsisten dan perilaku kesehariannya bertolak belakang dengan ajarannya. Sistem evaluasi pun Sumarsono bangun. Hasil dari proses ini dilaporkan pula ke orangtua murid, berbarengan dengan data perkembangan program. "Jadinya, guru pun semangat belajar," ungkap dia. Satu lagi, gairah atau passion adalah kata penting dalam proses pendidikan. Guru yang punya gairah tinggi mendidik akan otomatis punya empati kepada anak didiknya. Dengan sendirinya, sebut Sumarsono, guru itu berpikir kesuksesan peserta didik adalah kesuksesannya. Sebaliknya juga buat para murid. Lagi-lagi, gairah ini tak bisa dipisahkan dengan kesejahteraan. Sumarsono menganalogikan, gairah tanpa kesejahteraan ibarat mengendarai mobil tanpa pengisian kembali bensin. "Tinggal tunggu mogok (kalau begitu)," tegas dia. Apa yang disampaikan oleh Bapak Sumarsono diatas tidak mengangkat sepenuhnya apa yang dialami guru. Para motivator-motivator dari MLM-MLM yang terkenal untuk memotivasi para downline nya seringa berkata bahwa kategori manusia jika digolongkan terhadap kemampuan makan besok dapat digolongkan menjadi 4 kelompok. Kelompok itu adalah,Manusia besok bisa makan atau tidak? Manusia besok mau makan apa? Manusia besok mau makan dimana? Manusia besok mau makan siapa? Dari keempat golongan diatas dan pernyataan Bapak Sumarsono berarti guru sudah berada pada tingkat golongan kedua. Sedangkan pada kenyataannya masih banyak rekan-rekan guru saya dengar di bayar rendah dan masih berada pada kelompok pertama yaitu "Apakah besok bisa makan atau tidak?". Jadi untuk mengangkat masalah kesejahteraan guru kepermukaan ada baiknya topik lebih ditekankan adalah "Bagaimana Pendidik (Sekarang) Berkembang, Kalau Sambil Mikir Besok Makan Atau Tidak?" Sebagai penutup, bahwa apa yang disampaikan oleh bapak Sumarsono pada kolom edukasi kompas diatas sangat baik, misalnya "Guru harus memiliki dua kualitas utama. Kualitas latar belakang akademik dan kepribadian menarik.". Dan yang lebih penting lagi Saya Sangat Setuju dengan pendapat bapak Sumarsono, untuk memperhatikan kesejahteraan para pendidik. Mari kita dukung Revolusi Mental, untuk perubahan yang lebih baik. Video ilustrasi berikut mungkin bisa mengajak kita untuk ikut berubah; Via : http://www.foldersoal.com Bagikan Artikel ini
Belum ada Komentar untuk "Bagaimana Pendidik (Sekarang) Berkembang, Kalau Sambil Mikir Besok Mau Makan Apa?"
Posting Komentar